selamat datang di blog sanggar sastra tasik......................................................................saat ini anda sedang membaca esay budaya karya anggota sanggar sastra tasik......................................................................menggauli sastra bukanlah dosa......................................................................selamat datang di blog sanggar sastra tasik......................................................................saat ini anda sedang membaca esay budaya karya anggota sanggar sastra tasik......................................................................menggauli sastra bukanlah dosa

Rabu, 17 Maret 2010

UPAYA MEMBANGUN CITRA BUDAYA

Oleh : Saeful Badar

Seni Helaran "Kuda Lumping" pada Karnaval Seni LBP Se-Jabar SST 2008

Sejak awal, Sanggar Sastra Tasik (SST) didirikan dengan niat tulus untuk menyosialisasikan sastra ke tengah-tengah masyarakat. Ini berdasarkan pada realitas menyedihkan yang menimpa sastra itu sendiri, bahwa (bahkan) hingga sejauh ini, sastra masih dipandang sebagai barang asing yang tidak (belum) begitu dibutuhkan oleh masyarakat. Hal yang, tentunya, relevan sekali dengan ucapan seorang walikota ketika dalam sebuah kesempatan berhadapan dengan sejumlah seniman Tasikmalaya. Konon sang walikota berujar, ”Masyarakat Tasik tidak butuh seni karena masih banyak yang lapar!”


PADAHAL, lapar adalah kebutuhan jasmani (makan) yang tentunya sangat mendasar bagi setiap orang, siapapun, termasuk sang walikota sendiri. Dan dalam kondisi lapar yang lewat ucapan sang walikota tersebut tampaknya jadi ”begitu menyeramkan” sekali, orang tentunya membutuhkan siraman rokhani (lebih lapar lagi secara spiritual) karena dalam kondisi demikian orang bisa melakukan hal-hal yang melanggar norma-norma. Tentunya yang dibutuhkan tidak saja sekedar beras atau kebutuhan jasmaniah lainnya, tapi juga butuh nilai-nilai spiritual yang mencerahkan. Seni, di samping agama tentunya, bisa sejalan seiring memenuhi kebutuhan pencerahan spiritual masyarakat dalam kondisi seperti itu. Jadi, bahkan seorang walikota pun tidak berhak untuk menafikan keberadaan seni di lingkungan masyarakat manapun.

Apalagi kita melihat, saat ini banyak nian orang yang laparnya begitu kebablasan di Tasikmalaya, dan bahkan di manapun di negara kita. Jika laparnya tidak kebablasan, tentu tidak akan pernah muncul semacam kasus Bank Century serta ribuan kasus lainnya yang melibatkan para birokrat (penguasa) serta para yang mulia wakil rakyat di jajaran legislatif, yang sangat merugikan negara.


Kasus Bank Century atau kasus-kasus lain tak pelak telah menguras isi lumbung negara mencapai puluhan bahkan ratusan triliun rupiah. Bukankah harta benda dan kekayaan negara yang melimpah ruah seperti itu, mestinya digunakan untuk meniadakan lapar jasmaniah masyarakat, macam laparnya masyarakat Tasikmalaya sebagaimana dalam konteks ucapan walikota? Alhasil, sebetulnya, laparnya masyarakat kita merupakan hasil pekerjaan para penguasa itu sendiri yang tidak becus atau tidak cukup amanah dalam menjalankan roda pemerintahan yang seharusnya dikerjakan dengan penuh tanggung jawab itu. Bagaimana mungkin kita menyebutnya amanah atau penuh tanggung jawab, ketika kita melihat, bahwa kekayaan negara yang begitu melimpah itu, ternyata lebih banyak masuk ke lumbung pribadi para penguasa serta orang-orang yang dekat sekali dengan lingkaran kekuasaan itu sendiri?

Dalam konteks sosial yang ”sebobrok” itu, saya jadi sangat setuju dengan Iwan Fals yang lantang berkata dalam sebuah lagunya, ”Buat apa ada pemerintah kalau hidup terus-terusan susah?” Saya juga sepenuhnya jadi sangat setuju dengan mendiang John F. Kennedy, salah seorang presiden Amerika Serikat yang mati ditembak oleh lawan politiknya. Politisi kaliber dunia itu, dalam sebuah kesempatan tercatat pernah melontarkan ucapan yang sangat terkenal, ”Jika keadaan politik suatu negara kotor, maka puisi yang akan membersihkannya!”

Aha, ternyata puisi, Saudaraku! Puisi, yang notabene adalah ”seupil” dari sekian banyak macam ragam karya seni itu, bahkan diakui politisi dunia macam Kennedy, punya peran besar dalam membersihkan kekotoran dari kondisi politik suatu negara!

Kelompok Musikalisasi Puisi Cermin Musa pada Pembukaan LBP Se-Jabar 2008


KEMBALI ke Sanggar Sastra Tasik (SST). Sejak didirikan bersama Acep Zamzam Noor, Nazaruddin Azhar, dan lain-lain pada paruh akhir tahun 1996, SST telah diniatkan untuk menyosialisasikan sastra, khususnya puisi, karena kami memang punya basik di bidang itu. Diawali dengan pembacaan dan apresiasi puisi dalam acara ”Puisi dan Lagu” yang kemudian berubah nama menjadi ”Cakrawala Sastra Kita (CS Kita)” di stasiun Radio Siaran Pemerintah Daerah (RSPD) Tasikmalaya, yang saat itu belum lagi ada pemisahan geografis Kabupaten dan Kota, lantas mengundang para penulis puisi yang mengirimkan puisi-puisinya ke acara tersebut untuk berkumpul sekali seminggu di RSPD.

Dari pertemuan demi pertemuan, kemudian bermunculanlah beberapa nama penyair asal Tasikmalaya yang secara perlahan namun pasti mulai dikenal dan mewarnai jagat perpuisian dalam blantika sastra Indonesia. Saya tidaklah perlu mengabsen siapa nama-nama tersebut, karena kemudian publik sastra, di manapun di Indonesia telah mengakui bahwa Tasikmalaya merupakan kantung pembenihan penyair yang tidak boleh dilupakan di tingkat Jawa Barat dan nasional. Bahkan budayawan sekaliber Prof. Saini KM yang berjuluk ”Bapak Penyair Jawa Barat” dalam sebuah kesempatan pernah menjuluki Tasikmalaya sebagai Ibukota ”provinsi Sastra” bagi Jawa Barat. Ini tentunya merupakan sebuah pengakuan eksistensial yang harusnya membanggakan bagi segenap warga Tasikmalaya, termasuk (harusnya) bagi yang mulia para pengelola pemerintahan kota dan kabupaten Tasikmalaya, baik dari kalangan eksekutif maupun legislatif.


Peserta Lomba Baca Puisi Se-Jabar 2008 dari IPDN Jatinangor, Sumedang

Citra Budaya buat Tasikmalaya

Dengan dinafasi semangat untuk menyosialisasikan sastra (puisi) dan seni dalam pengertian yang lebih umum (yakni seni kontemporer dan tradisi), di samping melakukan pembinaan rutin untuk bibit-bibit baru kepenyairan, SST telah banyak menyelenggarakan even budaya, baik setingkat Priangan Timur, setingkat provinsi Jawa Barat, maupun nasional. Antara lain Lomba Baca Puisi (Se-Priangan Timur dan Jabar), Pesta Sastra Tasikmalaya tahun 1999, serta Muktamar Penyair Jawa Barat tahun 2003. Lomba Baca Puisi se-Priangan Timur pada bulan November 1996 diikuti oleh tak kurang dari 325 orang peserta dari kalangan pelajar SD, SMP, SMA dan Umum. Tahun 1997, kegiatan serupa ditingkatkan skupnya menjadi Se-Jawa Barat, diikuti oleh tak kurang dari 200 peserta. Tahun 1999, Pesta Sastra Tasikmalaya bahkan melibatkan lebih banyak lagi peserta Lomba Baca Puisi Terbuka, Lomba Cipta Puisi Nasional, dan Temu Penyair Nasional dari berbagai daerah di Indonesia, mulai dari Sabang sampai ke Merauke. Sejak itulah SST sebagai sebuah komunitas sastra di tingkat lokal, mulai berkibar tidak saja di tingkat provinsi Jawa Barat tapi juga di tingkat nasional. Dengan sendirinya, orang tidak lagi menyebut SST semata, tapi juga Tasikmalaya sebagai daerah yang notabene kecil saja di Indonesia, sebagai daerah tempat para aktifis SST menjalani proses kreatif berkesenian.

Dalam menyelenggarakan even-even budaya tersebut, SST tidak hanya melibatkan para praktisi sastra (puisi), tapi juga berbagai komunitas seni yang ada di Tasikmalaya, baik kontemporer (seperti Seni Rupa, Musik, serta Teater) maupun dari kalangan praktisi seni tradisi, senantiasa dilibatkan. Dari komunitas teater dan seni rupa, acap kami ikutsertakan dalam kepanitiaan, sedang dari komunitas seni tradisi dan musik kami sertakan pula untuk tampil, misalnya dalam Karnaval maupun dalam Pentas Seni Tradisi dan Musikalisasi Puisi yang selalu kami kemas sebagai acara pendukung kegiatan Lomba Baca Puisi. Sementara itu, tentu saja para praktisi seni tersebut tetap berproses dan menjalani kegiatan rutin di komunitasnya masing-masing, serta mereka masing-masing memiliki even-even seni sendiri-sendiri. Sedang keikutsertaan mereka di SST, dalam even-even yang diselenggarakan oleh SST, dilandasi semangat untuk bersilaturahmi selain sebagai wujud solidaritas tersendiri.

Sejak tahun 2000-an, SST memang belum lagi bisa menyelenggarakan even budaya tingkat nasional macam Pesta Sastra Tasikmalaya 1999, karena terbentur kendala yang cukup laten, yakni soal sulitnya mengumpulkan pendanaan. Tahun 2003, SST menyelenggarakan Muktamar Penyair Jawa Barat dengan menghadirkan para penyair potensial serta para akademisi dan pengamat sastra yang ada di Jawa Barat dan nasional. Tahun 2007 dan 2008 Lomba Baca Puisi Se-Jawa Barat yang diselenggarakan oleh SST diikuti oleh tak kurang dari 170-an peserta, terdiri atas para peminat baca puisi yang berasal dari berbagai daerah di Jawa Barat. Selain Lomba Baca Puisi, Karnaval Seni (Karnaval Budaya) yang kami kemas sebagai pendukung, menjadi even budaya tersendiri yang ternyata mampu memancing perhatian dan antusiasme masyarakat secara lebih luas lagi, hingga gaungnya terasa di mana-mana. Diakui atau tidak, hal ini tentunya mengukuhkan citra budaya tersendiri bagi Tasikmalaya.

Asosiasi Isteri Tambahan pada Karnaval Seni LBP Se-Jabar 2008

LBP 2010 dan Apresiasi Walikota

Tahun 2010 ini, kembali SST berancang-ancang untuk menyelenggarakan Lomba Baca Puisi (LBP) Se-Jawa Barat dengan beberapa kegiatan pendukung lainnya, seperti Karnaval Budaya, Pentas Seni Tradisi dan Musikalisasi Puisi, dll. Direncanakan, bulan April mendatang adalah waktu yang telah kami pilih untuk penyelenggaraan even budaya tersebut. Untuk itu, SST telah mengajukan proposal bantuan pendanaan ke Pemkot Tasikmalaya, dan alhamdulillah melalui Kabag Kesra Pemkot, walikota telah merekomendasikan bantuan sebesar Rp 500 ribu (lima ratus ribu rupiah) untuk membantu kelancaran penyelenggaraan Lomba Baca Puisi tersebut. Bantuan tersebut mungkin kecil saja, tapi tak mengapa, karena mungkin baru sampai di sana saja kadar apresiasi seni seorang walikota Tasikmalaya yang sekarang ini.

Dan untungnya, H.U. Radar Tasikmalaya, sehubungan dengan HUT-nya yang ke-6 di tahun 2010 ini telah menyatakan siap bekerja sama dengan SST untuk bahu-membahu menyukseskan even budaya yang diniatkan untuk sebuah upaya membangun citra budaya bagi Tasikmalaya yang kami cintai ini. Informasi lebih lanjut tentang kegiatan ini, segera kami turunkan baik melalui H.U. Radar Tasikmalaya maupun media-media cetak lainnya yang ada di Jawa Barat dan nasional, juga melalui media elektronika macam radio, internet, dsb. Tunggu saja. (*/).

Penulis selain tukang mancing ikan di kali-kali kecil kaki gunung Galunggung dan di kolam-kolam pemancingan ikan mas, juga adalah seorang praktisi sastra, pengelola Sanggar Sastra Tasik (SST).


Dimuat Radar Minggu, 7 Maret 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar